Warga membeli beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) saat Gerakan Pangan Murah Serentak di Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (30/8/2025). Pemerintah Kota Balikpapan menyediakan sebanyak tujuh ton beras SPHP di setiap kecamatan atau total 42 ton untuk enam kecamatan se-Kota Balikpapan dengan harga jual Rp60 ribu per kemasan 5 kilogram guna menjaga ketersediaan pasokan sekaligus menekan harga beras di pasaran. ANTARA FOTO/Aditya Nugroho/sgd (ANTARA FOTO/ADITYA NUGROHO)
Jakarta (ANTARA) – Harga beras yang terus bertahan tinggi di pasar, seolah menjadi tantangan tanpa ujung bagi pemerintah.
Berbagai kebijakan telah digulirkan, mulai dari operasi pasar besar-besaran, hingga penyaluran beras dari stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) ke berbagai daerah, namun dampaknya belum sepenuhnya memenuhi harapan.
Masyarakat menunggu turunnya harga beras, sementara pemerintah berusaha menjaga keseimbangan antara ketersediaan stok, perlindungan konsumen, dan keberlanjutan produksi.
Di sisi lain, panen raya yang baru saja usai, sebenarnya membawa kegembiraan bagi para petani. Pemerintah telah menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah sebesar Rp6.500 per kilogram untuk gabah kering panen (GKP), tanpa memandang kualitas kadar air dan kadar hampa.
Kebijakan ini memberi jaminan pasar bagi petani, karena apa pun kualitas gabahnya, pemerintah siap menampungnya.
Pada titik ini, petani memiliki kepastian pendapatan, setidaknya dari hasil panen mereka, namun kebijakan tersebut ternyata belum cukup untuk menahan laju kenaikan harga beras di pasaran.
Beras adalah komoditas strategis yang menyentuh aspek ekonomi, politik, dan sosial sekaligus. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa beras merupakan “nyawa kehidupan” sebagian besar masyarakat Indonesia.
Pemerintah tentu tidak dapat berspekulasi terhadap ketersediaan dan harga beras, karena gejolak kecil saja bisa memicu dampak luas terhadap stabilitas sosial dan ketahanan pangan nasional.
Di sinilah muncul pertanyaan mendasar, siapa sebenarnya yang paling diuntungkan ketika harga beras meroket? Apakah benar petani memperoleh bagian terbesar dari kenaikan harga tersebut, ataukah justru pihak-pihak lain, seperti pemilik penggilingan padi, para bandar, dan tengkulak yang menikmati nilai tambah ekonomi paling besar?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa meskipun petani bekerja keras menghasilkan gabah, mereka jarang mendapat kesempatan untuk menikmati keuntungan penuh dari hasil panennya.
Sebagian besar petani padi menjual hasil panen dalam bentuk gabah, bukan beras. Gabah adalah milik petani, tetapi beras, dalam praktiknya, dikuasai oleh pedagang.
Petani tidak memiliki kapasitas teknologi maupun modal untuk mengolah gabah menjadi beras yang siap jual.
Akibatnya, rantai nilai dalam agribisnis perberasan timpang, nilai tambah ekonomi terbesar berada di sisi hilir, pada tahap pengolahan dan distribusi.
Padahal, harga beras di pasaran relatif dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan harga gabah. Berdasarkan kesepakatan Badan Pangan Nasional dan pengusaha penggilingan padi, harga gabah kering panen di tingkat petani saat ini dipatok Rp4.550 per kilogram, sementara harga beras medium di gudang Bulog mencapai Rp9.000 per kilogram.
Selisih ini menggambarkan betapa besar potensi pendapatan yang hilang di tingkat petani karena mereka tidak memiliki kendali atas rantai nilai tersebut.
Petani beras
Untuk menjembatani kesenjangan ini, perlu ada kebijakan yang mendorong lahirnya "petani beras", alih-alih sekadar "petani gabah".
12Tampilkan Semua
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.